Berita Nasional

Air jadi senjata geopolitik baru pada berada dalam krisis Kashmir

Ibukota – Kashmir kembali bergejolak setelahnya sekelompok warga bersenjata mengurangi tembakan ke arah wisatawan ke Pahalgam, sebuah tujuan wisata populer dalam Kashmir, pada 22 April lalu, yang digunakan mengakibatkan sedikitnya 26 insan meninggal dunia.

Serangan yang digunakan mengerikan dan juga salah satu yang paling mematikan di beberapa tahun terakhir ini di dalam Kashmir sudah mendapat kecaman dari banyak pihak. Sekjen PBB Antonio Guterres mengutuk aksi serangan itu dan juga menyampaikan belasungkawa yang tersebut mendalam untuk keluarga para korban.

Sekjen PBB juga menekankan bahwa serangan terhadap warga sipil tidak ada dapat diterima di keadaan apa pun. Pesan yang mana mirip juga datang dari bermacam pemerintahan kemudian lembaga yang dimaksud berpengaruh di dalam tingkat internasional dari berubah-ubah lintas golongan.

Selain sebagai sebuah tindakan terorisme yang digunakan bukan berperikemanusiaan, aksi di dalam Kashmir ternyata juga tiada cuma mengakibatkan ketegangan antara India juga Pakistan, dua pihak yang tersebut kerap berselisih mengenai Kashmir.

Kantor berita Anadolu memberitakan bahwa dampak kejadian itu mengakibatkan hubungan antara India serta Pakistan jatuh ke titik terendah, antara lain dengan langkah New Delhi yang digunakan menangguhkan Perjanjian Air Indus (Indus Waters Treaty/IWT).

IWT itu mengatur penjatahan air dari enam sungai pada area aliran sungai Indus antara dua negara bersenjata nuklir tersebut. IWT mengalokasikan tiga sungai di dalam sisi timur (Ravi, Beas, juga Sutlej) pada lembah Sungai Indus ke India, sementara 80 persen dari tiga sungai pada sebelah barat (Indus, Jhelum, juga Chenab) ke Pakistan.

BBC melaporkan bahwa penangguhan penerapan IWT itu merupakan satu dari beberapa langkah yang mana diambil India pasca New Delhi menuding Pakistan sudah memperkuat terorisme lintas batas, sebuah tuduhan yang tersebut dibantah keras oleh Islamabad.

Islamabad menegaskan bahwa langkah yang disebutkan amat "sembrono" serta mengingatkan bahwa tindakan apapun oleh India untuk mengalihkan atau menghentikan aliran air ke Pakistan akan dianggap sebagai "tindakan perang".

Pakistan juga mengingatkan bahwa Perjanjian Air Indus yang dimaksud dimediasi oleh Bank Global lalu diteken pada September 1960 itu bukan mencantumkan mekanisme untuk menangguhkan perjanjian secara sepihak.

BBC memaparkan pula bahwa perselisihan air Indus ini sebenarnya tiada hanya saja berlangsung pada waktu ini, tetapi telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Sejumlah perselisihan pada masa berikutnya terbentuk seperti Pakistan yang menolak proyek penyelenggaraan PLTA dan juga infrastruktur air India, dengan alasan bahwa proyek yang dimaksud melanggar IWT sebab akan mengempiskan aliran air ke Pakistan, padahal 80 persen lebih tinggi pertanian juga sekitar sepertiga PLTA Pakistan bergantung pada air Indus.

India sendiri juga telah terjadi berulang kali mengupayakan adanya peninjauan ulang terhadap IWT, dengan alasan adanya inovasi permintaan pada ketika ini untuk irigasi, air minum, hingga tenaga air, yang digunakan terdampak dari beberapa factor seperti inovasi iklim.

Berbagai perselisihan itu biasanya diwujudkan melalui jalur hukum di dalam tingkat mediasi internasional, tetapi ini pertama kalinya berjalan rencana penangguhan IWT secara sepihak.

BBC mengungkapkan bahwa bermacam ahli sebenarnya menyatakan bahwa hampir mustahil bagi India untuk menahan puluhan miliar meter kubik air dari sungai-sungai barat selama periode aliran tinggi. Hal itu lantaran India tidaklah miliki infrastruktur penyimpanan besar-besaran serta kanal-kanal ekstensif.

Namun, beberapa ahli mengingatkan bahwa apabila India mulai mengendalikan aliran air dengan infrastruktur yang dimaksud mumpuni, maka Pakistan dapat merasakan dampaknya selama musim kemarau, di mana ketersediaan air sudah ada berada pada titik terendah.

Kontribusi konflik air

Dalam jalur sejarah umat manusia, konflik air telah terjadi banyak berkontribusi terhadap meningkatkan ketegangan bahkan hingga aksi kekerasan, oleh sebab itu sumber air merupakan salah satu dari komponen penting dari terjadinya beberapa konflik pada dunia.

Selain perselisihan India-Pakistan terhadap air di dalam lembah Indus, beberapa orang tindakan hukum lainnya dalam mana air merupakan faktor berpengaruh dapat disebut konflik Darfur di Sudan sejak 2003.

Kelangkaan air dan juga berkurangnya lahan subur akibat fenomena penggurunan disinyalir telah terjadi meningkatkan ketegangan antara warga nomaden dan juga petani, dan juga memperburuk konflik etnis kemudian berbasis sumber daya, menciptakan Darfur berubah menjadi konflik modern awal terkait dampak inovasi iklim terhadap ketersediaan air.

Begitu pula dengan Perang Saudara di dalam Suriah yang tersebut sebelum pecah pada 2011, didahului dengan fenomena kekeringan parah selama bertahun-tahun yang digunakan terkait dengan inovasi iklim, sehingga menyebabkan migrasi urbanisasi besar-besaran yang mana menyebabkan adanya keresahan kegiatan ekonomi dan juga sosial sebelum konflik meletus.

Pada abad yang tersebut lalu, dapat disebut Perang Enam Hari pada 1967, dalam mana negeri Israel melancarkan serangan pendahuluan antara lain terhadap upaya Suriah untuk mengalihkan aliran air pada anak Sungai Yordan. Perang Enam Hari adalah contoh di mana infrastruktur air berubah menjadi target strategis serangan militer.

Serangan militer yang mana ditujukan secara secara langsung di konflik baru-baru ini juga berjalan pada konflik pada Ukraina, saat hancurnya Bendungan Kakhova ke Sungai Dnieper, Ukraina, pada Juni 2023 mengakibatkan banjir besar, pemindahan sejumlah warga di sekitar bendungan, kemudian kerusakan lingkungan yang mana signifikan.

Berbagai tragedi itu mengingatkan bahwa konflik dapat dipicu atau diperkuat intensitasnya antara lain akibat kelangkaan akibat kekeringan atau pembaharuan iklim (seperti terjadi pada Darfur juga Suriah), hingga unsur kontrol strategis akses hulu versus hilir.

Memang harus ditekankan bahwa air bukanlah satu-satunya unsur atau pemicu utama dari terjadinya berubah-ubah konflik yang telah lama dipaparkan tadi, tetapi bukan salah rasanya untuk menggarisbawahi bahwa infrastruktur air semakin lama menjadi semakin strategis pada terjadinya konflik ke era modern ini, sehingga diperlukan adanya tindakan internasional untuk melindungi sumber daya yang dimaksud kritis tersebut.

Kembali ke perselisihan air Indus antara India dan juga Pakistan, ketegangan pascaserangan di dalam Pahalgam memang benar mungkin memproduksi air kembali berubah jadi unsur yang signifikan pada salah satu kekisruhan yang tersebut berada dalam disorot bola pada waktu ini.

Apalagi, ketersediaan air dari lembah Indus juga dirasakan semakin penting mengingat dampak inovasi iklim memproduksi semakin cepatnya gletser dalam pegunungan Himalaya mencair dengan cepat, sehingga berisiko mengakibatkan kelangkaan pada masa mendatang pada kawasan Asia Selatan.

Cegah eskalasi

Sejumlah tindakan nyata yang digunakan dapat membantu menurunkan ketegangan kemudian mengurangi eskalasi antara lain adalah menguatkan atau merundingkan ulang IWT, demi menyesuaikan perjanjian tahun 1960 itu dengan realitas pada waktu ini seperti dampak inovasi iklim, pertumbuhan populasi, lalu disrupsi teknologi.

Poin yang mana dapat dibahas antara lain adalah menambahkan klausul ketahanan iklim serta mekanisme respons kekeringan/banjir bersama, menetapkan protokol yang digunakan jelas untuk infrastruktur baru India (seperti bendungan) untuk mencegah ambiguitas, dan juga membentuk badan pengawas multilateral, tidak semata-mata bilateral.

Dalam segi teknologi, maka perlu adanya pemantauan air kemudian pembagian data dengan antara kedua negara yang tersebut berjalan secara transparan, dengan bantuan pemasangan sensor aliran sungai waktu nyata ke titik-titik utama, keterbukaan pada data hidrologi lalu satelit, juga melibatkan auditor internasional.

Kedua belah pihak juga harus untuk menjaga dialog agar dapat masih berpartisipasi selama masa damai untuk menghindari pengambilan langkah yang dimaksud bersifat krisis, juga betul-betul menerapkan proyek infrastruktur kolaboratif untuk mengubah pola pikir persaingan menjadi kerja sama.

Selain itu, harus pula menggunakan komisi independen untuk menafsirkan proyek terkait air Indus, juga mengiklankan solusi teknis dibandingkan dengan sikap politis, pada rangka menjaga dari isu air bermetamorfosis menjadi alat kebijakan pemerintah nasionalis-populis yang tersebut dapat membuat konflik.

Dunia, khususnya lembaga tingkat internasional, juga perlu memikirkan langkah-langkah agar pengelolaan air ditempuh lewat jalan perdamaian berbeda dengan eskalasi ketegangan. Hal itu dapat diwujudkan antara lain dengan menawarkan bantuan penyelenggaraan atau dana iklim yang digunakan dapat dikucurkan bila terkait dengan kerja sejenis nyata pada pengelolaan air, dan juga menggunakan instrumen hukum internasional untuk dapat menjaga dari bervariasi pihak tak bertanggung jawab pada menggunakan air sebagai "senjata" di konflik.

Untuk itu, beraneka pihak diharapkan dengan sangat dapat menempuh langkah kebijaksanaan, kerja sama, dan juga visi jangka panjang guna mengurus sumber air demi melestarikan perdamaian dunia, daripada "membegal" keuntungan jangka pendek yang tersebut malah memanfaatkan air untuk meningkatkan ketegangan politik

.

Artikel ini disadur dari Air jadi senjata geopolitik baru di tengah krisis Kashmir

Related Articles

Back to top button